Jumat, 04 Januari 2013

Imajinasi dan Pendidikan Syirik Modern

Api untuk membakar semangat, bukan untuk disembah.



Imajinasi, sampai pada kadar tertentu, mungkin memang berguna, terutama bagi anak-anak di bawah 7 tahun di mana khayalan adalah bagian dari bermain dan bermain adalah cara belajar awal mereka.
Bagi anak-anak, imajinasi menjadi penting dalam bermain. Anak yang hanya memiliki sebuah boneka, dapat ”menghadirkan” berbagai hal lain dalam benaknya untuk melengkapi permainannya dengan boneka tersebut. Imajinasi juga dapat membantu anak memperkaya daya pikirnya dengan berbagai hal menyangkut perasaan maupun berpikir kreatif. Jadi apakah imajinasi pasti selalu baik bagi anak?
Semua orang sepakat bahwa terlalu banyak mengkhayal atau berimajinasi akan membahayakan bahkan kesehatan perkembangan jiwanya. Jika anak sudah tak mau diajak melihat realitas atau hal-hal yang nyata, atau jika anak sudah menganggap apa yang khayalan sebagai benar-benar ada, maka ini berbahaya. Imajinasi yang dibuka tanpa batas dan pengarahan akan menjadi boomerang bagi pendidikan yang sehat.
Dewasa ini banyak sekali film kartun, animasi maupun film biasa (dengan pemain benar-benar manusia seperti Harry Potter) yang berdasarkan pada cerita khayalan. Bukan hanya untuk anak-anak balita saja, bahkan juga sampai untuk remaja dan dewasa, film imajinatif seperti sudah menjadi kebutuhan dunia modern ini. Berkembangnya teknik perfilman dan pemotretan membuat visualisasi imajinasi menjadi nyaris tanpa batas.
Bukan sekedar fiksi biasa, tetapi alur cerita, penokohan bahkan setting tempat semua berdasarkan imajinasi si pengarang atau produser. Artinya makhluk seperti dalam gambaran mereka ternyata tak pernah ada, atau bahkan tempat yang menjadi latar cerita-pun hanya khayalan. Katakanlah dalam film laris Lord of the Rings, Eragon dan sebagainya.
Namun ada yang sebenarnya lebih meresahkan lagi dan membahayakan, khususnya bagi keimanan kita, ummat Islam. Yaitu hadirnya unsur-unsur cerita berbau sihir maupun sihir dan mistik terang-terangan. Kita ummat Islam, sejak dari awal bab kitab suci kita yaitu Al-Qur’anul Karim, iman terhadap yang ghaib merupakan bagian dari keimanan inti kita (lihat QS Al-Baqarah ayat 1-3). Artinya, sebagai muslim, kita wajib mempercayai bahwa dunia ghaib itu ada, bahkan Allah SWT yang kita sembah adalah ghaib bagi kita. Namun yang ghaib bukan hanya Allah, tapi juga dunia ghaib termasuk makhluk bangsa jin dan dunianya, juga dunia sihir. Bahkan iblis adalah bangsa jin, sedangkan perbuatan sihir termasuk dosa besar yaitu mempersekutukan Allah/ syirik.
Add caption
Coba kita tengok beberapa film kartun, misalnya: Pokaemon. Dalam kisahnya, pokaemon berarti pocket monster atau monster kantong atau….jin kantong? Dalam kisahnya, pokaemon bisa disimpan di kantong dan jika diperlukan ia bisa di ”aktifkan” untuk membantu si pemilik. Apa bedanya dengan konsep ”khadam” (jin pelayan) dalam budaya timur? Jin pelayan yang dimiliki seseorang akan membantu pemiliknya (dengan izin Allah tentunya) tergantung perjanjiannya. Ada yang membantu pemiliknya melawan musuh dan lain-lain. Persis sama dengan pokaemon, hanya saja pokaemon adalah kartun jepang. Contoh lain adalah Doraemon, kucing ajaib milik anak pemalas bernama Nobita yang mempunyai kantong ajaib yang dapat mengeluarkan apa saja yang diminta. Masih ada lagi beberapa film kartun jepang yang bertema film kartun laga yang juga mengusung dunia sihir dan jin.
Agak lebih besar sedikit, anak kita disuguhkan film Harry Potter, penyihir muda dari Inggris yang mampu mengalahkan tokoh penyihir paling digjaya yaitu Lord Voldermort. Jelas-jelas ini adalah film promosi sihir. Seolah seorang Harry tak mungkin selamat jika ia tidak pandai atau sakti dalam ilmu sihir. Film laris layar lebar Lord of The Rings berkisah tentang dunia khayalan di kawasan Inggris Raya, lengkap dengan bangsa Dwarf, Elf dan lain-lain lagi.
Penulis melihat kemiripan jenis makhluk maupun setting cerita dengan kisah Eragon. Entah di mana letak korelasinya, namun jelas film-film ini mempromosikan sihir sebagai sesuatu kemestian. Memang dalam kisah-kisah itu seolah ada pemisahan antara ”sihir putih” dan ”sihir hitam”. Istilah ”sihir putih” maksudnya sihir untuk kebaikan dan ”sihir hitam” adalah sihir yang dilakukan untuk tujuan-tujuan jahat. Sangat mirip dengan kepercayaan mistik tanah air yang juga membedakan ”sihir putih” dan ”sihir hitam”. Pada prinsipnya sama-sama sihir.
Dalam pandangan Islam, perbuatan sihir, baik yang ”putih” maupun yang ”hitam”, keduanya dilarang bagi orang beriman. Keduanya, ditambah dengan perbuatan berkolaborasi dengan jin, termasuk ke dalam perbuatan-perbuatan yang tak akan diampuni Allah SWT jika sebelum wafat tidak bertobat. Ketiganya termasuk ke dalam katagori syirik nyata atau terang-terangan. Artinya, dosanya sama dengan orang yang menyembah patung.
Memang dengan hanya menontonnya, tidak otomatis menjadikan seseorang menjadi pelaku ketiga perbuatan tersebut. Namun dengan rajin menontonnya, bahkan dengan berbagai variasi film, si anak seolah mendapat konfirmasi bahwa dunia ghaib seperti itu adalah sebuah kemestian dalam hidup, jika tidak mengikutinya maka seseorang akan mendapat bahaya.

Mungkin banyak lagi contoh-contoh film yang belum disebutkan di sini, bahkan mungkin juga akan ditemukan lebih banyak lagi jika dicermati dari buku cerita dan komik anak.
Tampaklah di sini bahwa kita harus mempunyai patokan sejauh mana imajinasi masih diperbolehkan, dan sejauh mana segala imajinasi para pengarang maupun sutradara kita biarkan memasuki benak fikiran dan pemahaman anak-anak kita:
1. Jika ruang imajinasi dibuka selebar-lebarnya, segala macam khurafat dan takhayul leluasa masuk dan berkuasa dalam benak pikiran anak-anak kita bahkan tidak mustahil sama sekali tidak menyisakan ruang untuk pengertian tentang realita. Oleh karena itu kita harus membatasi jam menonton anak dan juga membatasi sejauh mana khayalan orang yang menciptakan cerita kita biarkan diikuti anak kita. Berikan ruang untuk imajinasi, tapi jangan lupa untuk mengajarkan bagaimana mengendalikannya. Dan dalam hal menonton atau membaca imajinasi orang lain, ajarkan anak untuk bersikap kritis.
2. Untuk melakukan pengawasan terhadap apa yang ditonton anak atau dibaca anak, hendaknya para orangtua selalu ikut mendampingi menonton maupun ikut membaca bersama anak. Jika anak sudah lebih mengerti, ajaklah berdialog dan berikan penjelasan mengapa hal-hal tersebut tidak baik bagi mereka.
3. Bisnis figur kartun bukan hanya terbatas pada segi penanyangan film-filmnya yang menjadi inti masalah, tetapi juga dilengkapi dengan bisnis pelengkap seperti boneka berbagai ukuran dan bahan, gambar-gambar kartu (yang bisa dikembangkan menjadi alat judi oleh para penjualan mainan pikulan), tempat pinsil, tas dan apa saja perlengkapan anak dengan figur-figur tersebut, juga games nintendo ataupun Play station dengan tokoh-tokoh tersebut sebagai pemeran utama. Seluruhnya seolah ‘mengepung’ dunia anak kita sehingga anak merasa seolah: ‘Pokaemon ada di mana-mana’. Sehingga lama-kelamaan anak menganggap bahwa Pokaemon benar-benar ada dalam dunia nyata. Ini merupakan sarana pembiasaan yang terprogram sehingga anak yang memang pada dasarnya masih belajar mengenali dan memisahkan antara khayalan dan realitas, akan semakin sulit membedakannya.
4. Dari sisi ekonomi, jelas merupakan kerugian materi yang mengarah kepada kemubaziran. Sudah sering kita dengar rengekan anak kita yang minta dibelikan lagi baju atau tas baru karena: “yang ini gambarnya Pokaemon, yang itu ‘kan Doraemon, udah ketinggalan zaman”. Sekarang makin banyak barang yang laku dijual bukan karena barangnya memang dibutuhkan oleh masyarakat, namun diburu orang karena gambar atau hiasan atau modelnya. Di sisi lain ini seolah mengajarkan kepada anak tentang konsep ”nilai tambah” terhadap suatu barang atau produk yang sebenarnya merupakan ”nilai kosong”, yaitu bahwa tambahan harganya bukan karena tambahan kualitasnya atau tambahan manfaatnya, tapi semata tambahan nilai modisnya.

Hendaknya kita terus waspada dan bahkan meningkatkan kewaspadaan kita tentang apa yang ditonton, didengar maupun dibaca anak-anak kita, para calon penerus kita.
Dunia ghaib memang bukan wilayah yang bisa diilmiyahkan. Namun sekali lagi, kita sadar bahwa dunia itu ada dan bahwa jin memang bisa berbuat hal-hal tertentu, bahkan ada sebagian manusia memang berkolaborasi dengan jin untuk minta kekuatan dan perlindungan. Tegasnya fenomena seperti itu adalah perbuatan syirik, dosa besar mempersekutukan Allah yang tak terampuni.

http://www.eramuslim.com

PENDIDIKAN KARAKTER: Peran Sekolah dan Keluarga

Add caption
Pendidikan karakter kembali menemukan momentumnya belakangan ini; bahkan menjadi salah satu program prioritas Kementerian Pendidikan Nasional (kini Kemendikbudnas). Meski sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak perbincangan baik melalui konperensi, seminar dan pembicaraan publik lainnya, belum banyak terobosan kongkrit dalam memajukan pendidikan karakter. Dengan kebijakan Kemendikbudnas, pendidikan karakter sudah saatnya dapat terlaksana secara kongkrit melalui lembaga-lembaga pendidikan dan masyarakat luas.
Segera jelas, pendidikan karakter terkait dengan bidang-bidang lain, khususnya budaya, pendidikan, dan agama. Ketiga-tiga bidang kehidupan terakhir ini berhubungan erat dengan nilai-nilai yang sangat penting bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Budaya atau kebudayaan umumnya mencakup nilai-nilai luhur yang secara tradisional menjadi panutan bagi masyarakat. Pendidikan—selain mencakup proses transfer dan transmissi ilmu pengetahuan—juga merupakan proses sangat strategis dalam menanamkan nilai dalam rangka pembudayaan anak manusia. Sementara itu, agama juga mengandung ajaran tentang berbagai nilai luhur dan mulia bagi manusia untuk mencapai harkat kemanusiaan dan kebudayaannya.
Tetapi, ketiga sumber nilai yang penting bagi kehidupan itu dalam waktu-waktu tertentu dapat tidak fungsional sepenuhnya dalam terbentuknya individu dan masyarakat yang berkarakter, berkeadaban, dan berharkat. Budaya, pendidikan dan bahkan agama boleh jadi mengalami disorientasi karena terjadinya perubahan-perubahan cepat berdampak luas, misalnya, industrialisasi, urbanisasi, modernisasi dan terakhir sekali globalisasi.
Krisis Karakter Bangsa
Pembicaran tentang membangun kembali watak dan karakter guna revitalisasi kebangggaan dan kehormatan bangsa telah memenuhi ruang publik sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya pada 1998 hingga sekarang ini—telah lebih daripada satu dasawarsa. Perubahan-perubahan dramatis, cepat dan berjangka panjang dalam kehidupan politik yang pada gilirannya juga menimbulkan disorientasi sosial dan kultural memunculkan wacana dan harapan tentang perlunya pembentukan kembali watak bangsa; ungkapan Presiden pertama RI, Soekarno tentang ‘nation and character building’ kembali menemukan relevansinya.
Berakhirnya kekuasaan Orde Baru, berbarengan dengan munculnya krisis dalam berbagai aspek kehidupan bangsa telah menimbulkan krisis pula dalam watak dan ketahanan bangsa. Semakin derasnya arus globalisasi yang membawa berbagai bentuk dan ekspresi budaya global merupakan faktor tambahan penting yang mengakibatkan pengikisan watak bangsa berlangsung semakin lebih cepat dan luas. Akibat lebih lanjut, krisis watak bangsa menimbulkan disrupsi dan dislokasi dalam kehidupan sosial dan kultural bangsa, sehingga dapat mengancam integritas dan ketahanan bangsa secara keseluruhan.
Masa sejak masa pasca-Soeharto sampai sekarang ini yang sering disebut sebagai “masa reformasi” kita agaknya hanya mampu mewujudkan sebagian dari cita-cita pembentukan masyarakat Indonesia yang berkarakter; tetapi masih banyak lagi agenda yang harus dilakukan. Untuk menyebut satu bidang kehidupan saja, Indonesia memang menjadi lebih demokratis, bahkan kini mungkin “terlalu demokratis”. Jika pada masa Soeharto kita memiliki “too little too late democracy”, kini kita agaknya mempunyai “too much democracy”, yang secara salah masih saja diekspresikan dalam bentuk demonstrasi yang berkepanjangan. Dengan demikian, konsolidasi demokrasi belum sepenuhnya terwujud, meski Indonesia sukses melaksanakan Pemilu legislatif  dan Presiden 2004; Pemilu Legislatif  9 April 2009, dan Pilpres 8 Juni 2009, yang juga berjalan relatif aman, dan damai. Namun pada pihak lain, Pemilukada yang berlangsung seolah-olah tidak pernah putus di berbagai daerah sering berujung konflik horizontal; keadaban nyaris lenyap dalam aksi-aksi massa yang terlibat dalam pertikaian politik.
Dengan begitu terlihat bahwa masyarakat kita mengalami berbagai disorientasi. Karena itulah harapan dan seruan dari berbagai kalangan masyarakat kita dalam beberapa tahun terakhir untuk pembangunan kembali watak atau karakter kemanusiaan melalui pendidikan karakter menjadi semakin meningkat dan nyaring. Kebijakan Kemendikbudnas  mengutamakan pendidikan karakter dapat menjadi momentum penting dalam konteks ini di tanah air kita.
Jika dilacak lebih jauh, krisis dalam watak dan karakter bangsa itu terkait banyak dengan semakin tiadanya harmoni dalam keluarga (Cf. International Education Foundation 2000). Banyak keluarga mengalami disorientasi bukan hanya karena menghadapi krisis ekonomi, tetapi juga karena serbuan globalisasi nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai dan norma-norma agama, sosial-budaya nasional dan lokal Indonesia. Sebagai contoh saja, gaya hidup hedonistik dan materialistik; dan permissif sebagaimana banyak ditayangkan dalam telenovela dan sinetron pada berbagai saluran TV Indonesia, hanya mempercepat disorientasi dan dislokasi keluarga dan rumahtangga.
Akibatnya, tidak heran kalau banyak anak-anak yang keluar dari keluarga dan rumahtangga hampir tidak memiliki watak dan karakter. Banyak di antara anak-anak yang alim dan bajik di rumah, tetapi nakal di sekolah, terlibat dalam tawuran, penggunaan obat-obat terlarang, dan bentuk-bentuk tindakan kriminal lainnya, seperti perampokan bis kota dan sebagainya. Inilah anak-anak yang bukan hanya tidak memiliki kebajikan (righteousness) dan inner beauty dalam karakternya, tetapi malah mengalami kepribadian terbelah (split personality).
Sekolah menjadi seolah tidak berdaya menghadapi kenyataan ini. Dan sekolah selalu menjadi kambing hitam dari merosotnya watak dan karakter bangsa. Padahal, sekolah sendiri menghadapi berbagai masalah berat menyangkut kurikulum yang overload, fasilitas yang tidak memadai, kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan yang rendah. Menghadapi beragam masalah ini sekolah seolah kehilangan relevansinya dengan pembentukan karakter. Sekolah, sebagai konsekuensinya, lebih merupakan sekadar tempat bagi transfer of knowledge daripada character building, tempat pengajaran daripada pendidikan.
Keragaman Budaya dan Multikulturalisme
Padahal dengan membangun karakter kita dapat memperkokoh jati diri dan ketahanan masyarakat Indonesia multi-kultural, yang memiliki berbagai ragam budaya. Keragaman budaya merupakan salah satu kekayaan bangsa ini, yang tidak dimiliki bangsa-bangsa lain. Bahkan secara konstitusional, baik dalam UUD 1945, Pancasila  maupun dalam prinsip negara bhinneka tunggal ika, keragaman budaya itu sudah mendapatkan landasannya yang kuat.
Pengakuan terhadap keragaman budaya itu hampir sama sebangun dengan prinsip multikulturalisme, yang berdasarkan pada ‘politik pengakuan’ (politics of recognition), mengakui setiap warga memiliki posisi yang setara satu sama lain. Tak kurang pentingnya, pengakuan terhadap keragaman itu didasarkan pada prinsip saling menghormati dan menghargai di tengah berbagai perbedaan yang ada.
Keragaman budaya dan multi-kulturalisme di tanahair kita dapat terancam jika masing-masing entitas dan kelompok budaya hanya mengunggulkan budaya masing-masing, dan pada saat yang sama kurang atau tidak menghargai budaya lainnya. Karena itu, penghargaan pada keragaman budaya mesti tidak dipandang telah selesai atau dibiarkan berkembang dengan sendirinya; sebaliknya justru harus diperkuat terus menerus melalui berbagai jalur interaksi sosial dan pendidikan pada berbagai levelnya.
Dalam konteks itu kita juga mesti memperkuat bangsa Indonesia yang memiliki jati diri dan ketahanan; berkepribadian dan berkarakter yang tangguh; berpegang teguh pada nilai-nilai demokratis dan keadaban; menghargai tinggi law and order; berkeadilan sosial, politik, dan ekonomi; memiliki kesalehan individual formal dan kesalehan komunal-sosial sekaligus; berkeadaban (civility) dalam lingkup civil society; menghargai keragaman dan kehidupan multikultural; dan memiliki perspektif lokal, nasional dan global sekaligus. Daftar ciri-ciri ideal ini tentu saja masih bisa ditambah lagi.
Keadaban (civility) ini penting ditekankan. Karena dalam beberapa tahun terakhir masyarakat kita cenderung semakin kehilangan “keadaban” (civility). Kita menyaksikan amuk massa; tawuran kini tidak lagi hanya terjadi di lingkungan pelajar dan kampung, tetapi juga antar mahasiswa—bahkan di lingkungan satu perguruan tinggi. Merosotnya keadaban ini juga bisa disaksikan pada berbagai kalangan masyarakat lainnya; sejak semakin meluasnya KKN melalui “desentralisasi” korupsi yang menumpang desentralisasi dan otonomi daerah. Banyak anak bangsa telah kehilangan “rasa malu”, sehingga keadabannya hampir tidak terlihat sama sekali. Bisa dipastikan, kenyataan ini merupakan gejala terjelas dari krisis sosial yang semakin parah dalam masyarakat kita. Karena itulah kita perlu kembali berbicara tentang pendidikan karakter.

Peran Keluarga

Berbicara tentang pendidikan karakter, baik kita mulai dengan ungkapan indah Phillips dalam The Great Learning(2000:11): “If there is righteousness in the heart, there will be beauty in the character; if there is beauty in the character, there will be harmony in the home; if there is harmony in the home, there will be order in the nation; if there is order in the nation, there will be peace in the world”.
Mempertimbangkan berbagai kenyataan pahit yang kita hadapi seperti dikemukakan di atas, hemat saya, pendidikan karakter merupakan langkah sangat penting dan strategis dalam membangun kembali jati diri bangsa dan menggalang pembentukan masyarakat Indonesia baru. Tetapi penting untuk segara dikemukakan—sebagaimana terlihat dalam pernyataan Phillips tadi—bahwa  pendidikan karakter haruslah melibatkan semua pihak; rumahtangga dan keluarga; sekolah; dan lingkungan sekolah lebih luas (masyarakat). Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan educational networks yang nyaris terputus antara ketiga lingkungan pendidikan ini. Pembentukan watak dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara ketiga lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan harmonisasi.
Dengan demikian, rumahtangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan watak dan pendidikan karakter pertama dan utama mestilah diberdayakan kembali. Sebagaimana disarankan Phillips, keluarga hendaklah kembali menjadi “school of love”, sekolah untuk kasih sayang (Phillips 2000). Dalam perspektif Islam, keluarga sebagai “school of love” dapat disebut sebagai “madrasah mawaddah wa rahmah, tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang.
Islam memberikan perhatian yang sangat besar kepada pembinaan keluarga (usrah). Keluarga merupakan basis dari ummah (bangsa); dan karena itu keadaan keluarga sangat menentukan keadaan ummah itu sendiri. Bangsa terbaik (khayr ummah) yang merupakan  ummah wahidah (bangsa yang satu) dan ummah wasath (bangsa yang moderat), sebagaimana dicita-citakan Islam hanya dapat terbentuk melalui keluarga yang dibangun dan dikembangkan atas dasar mawaddah wa rahmah.
Berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan Anas r.a, keluarga yang baik memiliki empat ciri. Pertama; keluarga yang memiliki semangat (ghirah) dan kecintaan untuk mempelajari dan menghayati ajaran-ajaran agama dengan sebaik-baiknya untuk kemudian mengamalkan dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, keluarga di mana setiap anggotanya saling menghormati dan menyayangi; saling asah dan asuh. Ketiga, keluarga yang dari segi nafkah (konsumsi) tidak berlebih-lebihan; tidak ngoyo atau tidak serakah dalam usaha mendapatkan nafkah; sederhana atau tidak konsumtif dalam pembelanjaan. Keempat, keluarga yang sadar akan kelemahan dan kekurangannya; dan karena itu selalu berusaha meningkatkan ilmu dan pengetahuan setiap anggota keluarganya melalui proses belajar dan pendidikan seumur hidup (life long learning), min al-mahdi ila al-lahdi.
Datang dari keluarga mawaddah wa rahmah dengan ciri-ciri seperti di atas, maka anak-anak telah memiliki potensi dan bekal yang memadai untuk mengikuti proses pembelajaran di sekolah. Dan, sekali lagi, sekolah—seperti sudah sering dikemukakan banyak orang--seyogyanya tidak hanya menjadi tempat belajar, namun sekaligus juga tempat memperoleh pendidikan, termasuk pendidikan watak dan pendidikan nilai.
Sekolah, pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat “transfer of knowledge” belaka. Seperti dikemukakan Fraenkel (1977:1-2), sekolah tidaklah semata-mata tempat di mana guru menyampaikan pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah juga adalah lembaga yang mengusahakan usaha dan proses pembelajaran yang berorientasi pada nilai (value-oriented enterprise). Lebih lanjut, Fraenkel mengutip John Childs yang menyatakan, bahwa organisasi sebuah sistem sekolah dalam dirinya sendiri merupakan sebuah usaha moral (moral enterprise), karena ia merupakan usaha sengaja masyarakat manusia untuk mengontrol pola perkembangannya.
Pembentukan watak dan pendidikan karakter melalui sekolah, dengan demikian, tidak bisa dilakukan semata-mata melalui pembelajaran pengetahuan, tetapi adalah melalui penanaman atau pendidikan nilai-nilai. Apakah nilai-nilai tersebut? Secara umum, kajian-kajian tentang nilai biasanya mencakup dua bidang pokok, estetika, dan etika (atau akhlak, moral, budi pekerti). Estetika mengacu kepada hal-hal tentang dan justifikasi terhadap apa yang dipandang manusia sebagai “indah”, apa yang mereka senangi. Sedangkan etika mengacu kepada hal-hal tentang dan justifikasi terhadap tingkah laku yang pantas berdasarkan standar-standar yang berlaku dalam masyarakat, baik yang bersumber dari agama, adat istiadat, konvensi, dan sebagainya. Dan standar-standar itu adalah nilai-nilai moral atau akhlak tentang tindakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Lingkungan masyarakat luas jelas memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai estetika dan etika untuk pembentukan karakter. Dari perspektif Islam, menurut Quraish Shihab (1996:321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada “kini dan di sini”, maka upaya dan ambisinya terbatas pada kini dan di sini pula.
Dalam konteks itu, al-Qur’an dalam banyak ayatnya menekankan tentang kebersamaan anggota masyarakat menyangkut pengalaman sejarah yang sama, tujuan bersama, gerak langkah yang sama, solidaritas yang sama. Di sinilah, tulis Quraish Shihab, muncul gagasan dan ajaran tentang amar ma`ruf dan nahy munkar; dan tentang fardhu kifayah, tanggung jawab bersama dalam menegakkan nilai-nilai yang baik dan mencegah nilai-nilai yang buruk.

Pendidikan Nilai

Pembentukan karakter merupakan bagian dari pendidikan nilai (values education) melalui sekolah merupakan usaha mulia yang mendesak untuk dilakukan. Bahkan, kalau kita berbicara tentang masa depan, sekolah bertanggungjawab bukan hanya dalam mencetak peserta didik yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga dalam jati diri, karakter dan kepribadian. Dan hal ini relevan dan kontekstual bukan hanya di negara-negara yang tengah mengalami krisis watak seperti Indonesia, tetapi juga bagi negara-negara maju sekalipun (cf. Fraenkel 1977: Kirschenbaum & Simon 1974).
Usaha pembentukan watak melalui sekolah, hemat saya, selain dengan pendidikan karakter di atas, secara berbarengan dapat pula dilakukan melalui pendidikan nilai dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, menerapkan pendekatan “modelling” atau “exemplary” atau “uswah hasanah”. Yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan sekolah untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai akhlak dan moral yang benar melalui model atau teladan. Setiap guru dan tenaga kependidikan lain di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup (living exemplary) bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.
Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk. Usaha ini bisa dibarengi pula dengan langkah-langkah; memberi penghargaan (prizing) dan menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discouraging) berlakunya nilai-nilai yang buruk; menegaskan nilai-nilai yang baik dan buruk secara terbuka dan kontinu; memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih berbagai alternatif sikap dan tindakan berdasarkan nilai; melakukan pilihan secara bebas setelah menimbang dalam-dalam berbagai konsekuensi dari setiap pilihan dan tindakan; membiasakan bersikap dan bertindak atas niat dan prasangka baik (husn al-zhan) dan tujuan-tujuan ideal; membiasakan bersikap dan bertindak dengan pola-pola yang baik yang diulangi secara terus menerus dan konsisten.
Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (character-based education). Hal ini bisa dilakukan dengan menerapkan character-based approach ke dalam setiap mata pelajaran nilai yang ada di samping matapelajaran-mata pelajaran khusus untuk pendidikan karakter, seperti pelajaran agama, pendidikan kewarganegaraan (PKn), sejarah, Pancasila dan sebagainya. Memandang kritik terhadap matapelajaran-matapelajaran terakhir ini, perlu dilakukan reorientasi baik dari segi isi/muatan dan pendekatan, sehingga mereka tidak hanya menjadi verbalisme dan sekedar hapalan, tetapi betul-betul berhasil membantu pembentukan kembali karakter dan jatidiri bangsa.
Wallahu a`lam bish-shawab.

Bibliografi

Azra, Azyumardi, 2006,  “Faith, Values, and Integrity in Public Life”, makalah disampaikan pada World Ethics Forum: Leadership, Ethics, and Integrity in Public Life, Oxford, International Institute for Public Ethics (IPPE) dan The World Banl, 9-12 April, 2006.
Azra, Azyumardi, 2003 (cetakan 2, 2006), Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Penerbit Kompas.
Azra, Azyumardi, 1999a, “Membangun Kembali Karakter Bangsa: Peran dan Tantangan Perguruan Tinggi”, makalah disampaikan pada Dies Natalis ke-50 Universitas Gadjah Mada, 13 Nopember 1999.
Azra, Azyumardi, 1999b, “Pembinaan Pendidikan Akhlak Didik pada Era Reformasi”, pokok-pokok pikiran untuk Seminar tentang Pendidikan Anak dalam Indonesia Baru, Direktorat Pembinaan Pendidikan Islam pada Sekolah Umum, Depag RI, Jakarta, 2 Nopember 1999.
Azra, Azyumardi, 1999c, “Catatan tentang Evaluasi atas Arah Pendidikan serta Fungsionalisasi Pemikiran Pendidikan di Indonesia”, makalah pada Diskusi Ahli “Pendidikan Indonesia untuk Masa Depan yang Lebih Baik”, Yayasan Fase Baru Indonesia, Jakarta, 25 Oktober 1999.
International Education Foundation, 2000, “The Need for Character Education”, makalah pada National Conference on Character Building, Jakarta, 25-26 Nopember, 2000.
Fraenkel, Jack R., 1977, How to Teach about Values: An Analytical Approach, Englewood, NJ: Prentice Hall.
Kirschenbaum, Howard & Sydney B. Simon, 1974, “Values and Futures Movement in Education”, dalam Alvin Toffler (ed.), Learning for Tomorrow: The Role of the Future in Education, New York: Random House.
Navis, AA, 1999, “Pendidikan dalam Membentuk Watak Bangsa”, makalah pada Diskusi Ahli “Pendidikan Indonesia untuk Masa Depan yang Lebih Baik”, Yayasan Fase Baru Indonesia, Jakarta, 25 Oktober 1999.
Phillips, C. Thomas, 2000, “Family as the School of Love”, makalah pada National Conference on Character Building, Jakarta, 25-26 Nopember, 2000.
Shihab, M. Quraish, 1996, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu`I atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan.
*Azyumardi Azra adalah Direktur Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak Januari 2007 sampai sekarang; dan juga pernah menjabat Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI (Mei 2007-Oktober 2009). Sebelumnya, dia adalah Rektor IAIN/UIN selama dua periode (1998-2002, dan 2002-2006). Ia juga gurubesar kehormatan Universitas Melbourne (2006-9); Komite Akademis Aga Khan International University London (2006-8); anggota Dewan Penasehat Centre for the Study of Contemporary Islam (CSCI, University of Melbourne); anggota Board of Trustees International Islamic University, Islamabad, Pakistan (2005-sekarang); anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI, 2005-sekarang); anggota Dewan Riset Nasional (DRN, 2005-sekarang); anggota Presidium ICMI (2006-2010).
Memperoleh MA, MPhil dan PhD dari Columbia University, New York (1992), pada Mei 2005 dia memperoleh DR HC dalam humane letters dari Carroll College, Montana, USA.
Dia mempresentasikan makalah pada banyak seminar dan konperensi baik di dalam maupun luar negeri; dan telah menerbitkan lebih dari 23 buku; di antaranya dalam bahasa Inggris: editor, Shari’a and Politics in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2005); Indonesia, Islam and Democracy: Dynamic in Global Contexts (2006), Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Development (Mizan International: 2007); (co-contributing editor), Islam Beyond Conflict: Indonesian Islam and Western Political Theory (London: Ashagate: 2008); dan (co-editor), Varieties of Religious Authority: Changes and Challenges of 20th Century Indonesian Islam (Singapore: ISEAS, 2010). Lebih 30 artikelnya dalam bahasa Inggris telah diterbitkan dalam berbagai buku dan jurnal pada tingkat internasional.
Dia juga anggota Dewan Penasehat UNDEF New York (2006-8); International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stockholm (2007-sampai sekarang); Multi Faith Centre, Griffith University, Brisbane (2005-sekarang); Institute of Global Ethics and Religion (2004-sekarang); Council on Faith, World Economic Forum, Davos, Swiss (2008-sekarang); Bali Democracy Forum (2008-sekarang).
Pada 2005 ia mendapatkan The Asia Foundation Award dalam rangka 50 tahun TAF atas peran pentingnya dalam modernisasi pendidikan Islam; dalam rangka Peringatan Hari Kemerdekaan RI, pada 15 Agustus 2005 ia mendapat anugerah Bintang Mahaputra Utama RI yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas jasanya dalam pengembangan Islam moderat; dan pada Juli 2010 ia mendapatkan penghargaan Honorary CBE (Commander of the Order of the British Empire) dari Ratu Kerajaan Inggris atas jasa-jasanya dalam hubungan antar-agama dan peradaban.
Oleh: Azyumardi Azra*  Disampaikan pada seminar ‘Pendidikan Karakter Teguhkan Pribadi Bangsa’ yang terselenggara atas kerja sama PT Penerbit Erlangga dan Himpunan Mahasiswa Biologi, FMIPA, UNNES Semarang, Minggu, 23 September, 2012
 http://www.erlangga.co.id/umum/7405-pendidikan-karakter-peran-sekolah-dan-keluarga-.html